Saat ini aplikasi android bukan hanya sarana untuk mempermudah melakukan sesuatu tetapi aplikasi android juga bisa di pakai untuk menghasilkan uang.
Setelah aplikasi penghasil dollar terbaik yaitu WHAFF booming di kalangan pengguna android ...
... Sekarang muncul lagi satu aplikasi yang bisa menghasilkan uang untuk sobat.
Aplikasi tersebut adalah Cashpirate.
Cashpirate adalah aplikasi imbalan yang akan memberikan uang dan gift card ( kartu hadiah) kepada sobat.
Cash Pirate menerapkan sistem imbalan berupa Poin.
Nah, poin tersebutlah yang nantinya akan kita tukarkan dengan uang dollar gratis. 1000 Poin pada Cash Pirate sama dengan $1 dollar atau kalau dirupiahkan Rp.13700.
Banyak kan?
Jika sobat tertarik ingin mendapatkan uang dari Cashpirate, sobat harus ikuti langkah-langkah di bawah ini :
Sebelumnya sobat harus persiapkan dulu email yang aktif karena email ini akan dipakai saat pendaftaran nanti.
Jika sobat belum punya email, pelajari cara buat email ini.
Langkah pertama tentunya download dulu aplikasi Cash Pirate di Play Store, atau langsung disini.
Setelah itu, instal dan buka Aplikasi Cash Pirate.
Setelah aplikasi terbuka, masukan alamat email dan Password sobat, kemudian klik "Sign In or Register".
Di halaman selanjutnya sobat disuruh untuk memasukan kode, nah masukan kode ini XVWGMF untuk mendapatkan bonus pendaftaran sebanyak 500 Poin Gratis atau setara dengan $0,50 dollar. Kemudian klik REGISTER.
Untuk melihat bonus 500 Poin tadi, sobat bisa lihat pada menu Earn History.
Sebelum menggunakan Cash Pirate, silahkan pilih metode pembayaran terlebih dahulu. Tekan menu REDEEM COINS, lalu pilih Paypal ($2,50 Paypal) lalu tekan SET AS GOAL. Itu adalah minimum pembayaran terkecil, agar penarikan saldo lebih cepat.
Setelah semua selesai, sekarang saatnya sobat mencari point sebanyak-banyaknya.
Tak berbeda jauh dengan WHAFF, sobat bisa mendapatkan point di Cashpirate hanya dengan instal aplikasi, lihat Video, ikut survey,dan lain-lain.
Sobat tinggal klik "Show offer" untuk bisa memilih misi yang akan sobat jalankan untuk mendapatkan point.
Jika point sudah cukup 2.500 Poin, maka sobat bisa menariknya ke akun paypal sobat.
Belum punya akun paypal?
Coba baca cara membuat akun paypal dengan mudah.
Ini bukti pembayaran dari aplikasi cashpirate.
Lumayan kan buat tambahan penghasilan sobat.
Cashpirate adalah aplikasi penghasil uang terbaik selain WHAFF dan sudah terbukti membayar.
Banyak aplikasi android yang scam dan tidak membayar penggunanya. Disini saya hanya merekomendasikan aplikasi yang benar-benar membayar para penggunanya.
Jadi jangan hawatir.
Jika sobat mau berusaha, sobat pasti bisa mendapatkan uang dari aplikasi Cashpirate ini.
Selasa, 02 Februari 2016
Selasa, 31 Maret 2015
Novel Karangan Shanty Agatha " Menghitung Hujan" Part 5
`
Nana datang ke restoran yang dimaksud sore itu dengan jantung berdegup kencang. Oh betapa inginnya dia menelepon Reno dan menanyakan semuanya, tetapi hatinya melawan.... dia ingin mendengar penjelasan dari sisi orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah mama Reno.
"Lalu kau ingin aku berbuat apa, Diandra?" gumam Reno putus asa, lelah atas penghakiman yang terus menerus ditimpakan kepadanya..
Diandra menatap Reno lurus-lurus. "Aku tidak pernah berlku egois sebelumnya, Reno. Kau tahu selama ini aku selalu mencoba mengutamakan kebahagiaanmu lebih dulu, bahkan pada saat aku memutuskan pertunangan itu dengan kejam, aku melepaskanmu." Air mata Diandra mengalir makin deras, tetapi perempuan itu tetap menatap Reno dengan tajam, "Aku ingin bersikap egois sekarang. Sekali saja dalam hidupku aku ingin memenangkan kebahagiaanku sendiri."
Diandra menghela napas, dan Reno menunggu,
"Jangan kembali kepada perempuan itu. Aku mohon." Diandra tampak begitu sedih, "Aku buang harga diriku untuk memohon padamu. Tinggalah di sini, kita lanjutkan hidup kita yang sudah tertata hingga masa depan. Aku...aku akan membuatmu mencintaiku kembali, aku tahu rasa cinta itu masih ada...." Suara Diandra terendam oleh isak tangisnya. "Aku sudah mencoba Reno, tetapi aku tidak bisa tanpaku... kalau kau meninggalkanku lagi.... kali ini aku... aku akan mati."
Reno membeku mendengar perkataan Diandra itu.
***
Reno tidak datang lagi. Nana duduk dengan gelisah di kursi itu, kursi biasanya dia duduk berdua dengan Reno. Sudah hampir seminggu Nana duduk di kedai kopi itu setiap sore, tetapi Reno tidak ada. Dia mencoba menghubungi nomor ponsel Reno, tetapi selalu tidak aktif.
Hati Nana gelisah. Apakah ini ada hubungannya dengan telepon yang mengaku sebagai mama Reno waktu itu? Apakah... jika informasi waktu itu benar... Reno pulang menemui tunangannya dan tak kembali?
Tiba-tiba jantung Nana terasa berdenyut. Ketika Reno tidak ada, dia baru menyadari bahwa dia merindukan kehadiran laki-laki itu di hari-harinya, merindukan tawanya, merindukan kedekatan mereka bersama, saling berbagi cerita,
Tanpa sadar, Nana mungkin sudah jatuh cinta kepada Reno....
***
Bersambung ke Part 6
Sumber
Suara di seberang telepon itu membuat Reno tertegun, "Apa?"
"Mama sudah menelepon Nana. Mama bilang ingin bertemu perihal Diandra dan kamu."
Jemari Reno yang memegang ponsel bergetar, "Mama tega melakukan itu pada Reno?"
Sang mama mendesah penuh penyesalan di
seberang sana. "Maafkan mama, Reno. Mama harus melakukannya. Kalau tidak
hatimu yang keras itu tak akan runtuh. Mama hanya ingin kau melembutkan
hatimu, menengok Diandra, kasihan dia."
"Apakah mama tidak kasihan kepadaku?
melakukan kekejaman ini kepadaku? Kepada Nana? dia tidak tahu apa-apa!"
Reno menggeram, mulai marah.
"Maafkan mama Reno... mama putus asa." sang mama menghela napas lagi, "Mama hanya ingin kau menemui Diandra."
"Baiklah." Reno bergumam tajam. "Reno akan
menemui Diandra. Selamat, mama dan diandra mendapatkan apa yang kalian
mau. Tapi Reno minta mama tidak menemui Nana. Jangan pernah menemui Nana
dan menyakitinya." Reno memutuskan sambil memejamkan matanya dengan
sedih.
Hening..
Lalu sang mama bergumam dengan hati-hati,
"Hanya karena Nana kau berubah seperti ini, Reno...kau marah kepada
mama, kau meninggalkan Diandra, semuanya kau lakukan hanya karena Nana?"
"Bukan 'hanya'..." Reno menyela. "Mama
harus tahu, Nana adalah segalanya untukku. Dan dengan melakukan apa yang
mama lakukan itu, mama telah menghancurkan hatiku, anakmu sendiri."
Dan Renopun menutup telepon dengan hati kalut.
***
Nana datang ke restoran yang dimaksud sore itu dengan jantung berdegup kencang. Oh betapa inginnya dia menelepon Reno dan menanyakan semuanya, tetapi hatinya melawan.... dia ingin mendengar penjelasan dari sisi orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah mama Reno.
Benarkah Reno meninggalkan tunangannya
yang sedang sakit di kota asalnya? Dan kenapa mama Reno menganggap bahwa
ini semua ada hubungannya dengannya?
Apakah....apakah Reno meninggalkan tunangannya karena Nana? Reno mengatakan bahwa dia mencintai Nana...
Perasaan bersalah langsung menggayuti
hatinya, membuatnya berat. Seberat mendung hitam yang tampak
tertatih-tatih membawa muatan uap air yang semakin menggelayut di
langit.
Sebentar lagi hujan. Nana menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menghirup udara dengan nikmat. Hembusan udara sebelum hujan turun terasa menyenangkan, menyejukkan dan menguatkan. Nana butuh merasa kuat untuk menghadapi apa yang akan didengarnya nanti, penjelasan dari mama Reno.
Sebentar lagi hujan. Nana menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menghirup udara dengan nikmat. Hembusan udara sebelum hujan turun terasa menyenangkan, menyejukkan dan menguatkan. Nana butuh merasa kuat untuk menghadapi apa yang akan didengarnya nanti, penjelasan dari mama Reno.
Dia berdiri di ambang pintu restoran itu
dan memutar mata. Tidak ada yang dikenalinya di sana. Mama Reno
ditelepon mengatakan bahwa dia akan menunggu Nana di restoran itu jam
empat sore. Dan bodohnya Nana lupa menanyakan nomor mama Reno yang bisa
dia hubungi. Sekarang dia beridiri bingung, tidak tahu harus berbuat
apa.
"Kursi untuk berapa orang?" Seorang pelayan menyapanya sopan, membuat Nana sedikit kaget, dihentakkan dari lamunannya.
"Eh.. untuk dua orang."
"Mari ikuti saya."
Dengan pasrah Nana mengikuti pelayan itu,
diantarkan ke kursi di sudut untuk dua orang. Untunglah posisinya cukup
bagus, sehingga Nana bisa mengamati siapa yang masuk dan keluar dengan
leluasa. Dia menajamkan pandangannya, mengamati setiap orang.
Tetapi tampaknya tidak ada yang
menunggunya atau mengenalinya di sini. Nana duduk dengan bingung.
Memesan secangkir minuman hangat untuk menemaninya, dan kemudian dia
menunggu.
Dan menunggu
Dan terus menunggu ..
Hampir dua jam berlalu, dan tidak ada yang
datang menghampirinya ataupun menghubunginya. Nana menghela napas,
menatap hujan yang makin deras di luar.
Sepertinya orang yang mengaku mama Reno
tidak akan datang. Nana sudah menyerah untuk menunggu, mungkin itu hanya
orang iseng? ataukah mungkin mama Reno mengurungkan niatnya?
Nana meraih dompetnya, membayar dan kemudian melangkah pergi dari restoran itu.
***
"Dia ada di sana." Sang mama menunjuk ke
kamar rumah sakit yang ada di lorong. Reno hanya menatap mamanya datar.
Tidak menjawab, dia masih merasa kesal atas pemaksaan yang dilakukan
mamanya untuk membawanya ke sini. Yah... setidaknya mamanya menepati
janjinya untuk tidak mencoba menemui ataupun mengganggu Nana lagi.
Reno lalu berlalu hendak menuju kamar
Diandra. Tiba-tiba sang mama memanggil namanya pelan, membuat Reno
menghentikan langkahnya dan menoleh,
"Ada apa mama?"
Wajah mamanya tampak pedih, menghadapi
sikap marah anaknya. "Mama minta maaf melakukan ini semua, memaksamu
datang demi Diandra.... ini semua demi yang terbaik untukmu nak, mama
yakin Diandra yang terbaik untukmu begitu juga sebaliknya... bukan
perempuan entah darimana yang tiba-tiba muncul dan membuat keadaan kacau
balau."
"Mama tidak berhak menyalahkan Nana. Kalau
ada yang ingin mama salahkan, itu Reno." Reno menatap mamanya dengan
pedih, "Dan mama tidak tahu apa yang membuatku bahagia." Reno bergumam
pelan, dan membalikkan tubuhnya, meninggalkan sang mama yang tertegun.
***
Reno membuka pintu kamar perawatan Diandra
dengan hati-hati. Kamar itu sepi, papa dan mama Diandra rupanya memilih
menunggu di Cafe. Mereka terlalu marah kepada Reno sekarang untuk
bertemu dan menyapa Reno, tetapi demi Diandra mereka mengalah dan
memberi kesempatan Diandra untuk bertemu dengan Reno.
Diandra sedang tidur. Dan hati Reno
mencelos ketika menyadari betapa kurusnya Diandra. Tubuhnya tampak
ringkih dan lemah, dan bahkan pergelangan tangannya yang terhubung
dengan jarum infus tampak begitu rapuh.
Seolah-olah Reno akan mematahkannya kalau dia bertindak sedikit kasar kepadanya.
Hati Reno terasa tersayat-sayat menatap
Diandra, dia duduk di kursi di sebelah Diandra yang terbaring tidur,
mendesah dalam hati. Kenapa kau begitu mencintaiku Diandra? kenapa
kau tidak dengan mudah melepaskanku? melupakanku dan meraih
kebahagiaanmu? Toh aku sudah begitu kejam kepadamu....kenapa kau tidak
membenciku dan berpaling saja?
Seakan merasakan kehadiran Reno,
pelan-pelan mata Diandra terbuka, buku mata yang tebal memayungi matanya
ketika dia berusaha memfokuskan pandangannya.
"Reno..?" Diandra bergumam pelan, tampak terkejut, rupanya orangtuanya tidak memberitahukan kepadanya tentang kedatangan Reno.
"Hai." Reno tersenyum, "Aku dengar kau sakit."
Diandra memalingkan mukanya, tampak malu. "Aku tidak apa-apa kok."
Reno menghela napas panjang, meraih jemari rapuh Diandra dan menggenggamnya, "Maafkan aku Diandra."
Wajah Diandra tanpak menyimpan kepedihan
yang amat sangat, "Kau selalu meminta maaf kepadaku dan aku akan selalu
menolaknya Reno...." ada air mata yang mengalir di situ, membuat mata
Diandra mengerjap, "Tidak ada gunanya permintaan maaf itu, pada akhirnya
kau tetap dengan tegas melukaiku dan meninggalkanku."
"Aku tidak pernah dengan sengaja ingin
menyakitimu, Diandra." Reno menghela napas panjang, "Tetapi karena
jantung ini... aku harap kau mengerti..."
Diandra mengusap air mata yang berjatuhan
di pipinya. "Karena jantung itu..." perempuan itu tersenyum pahit, "Aku
sudah mencoba memahami, Reno... aku mencoba. Setiap malam aku berbaring
di kegelapan, menelaah alasan yang kau paparkan kepadaku... tetapi aku
tetap tidak bisa menerima. Bagaimana mungkin sebuah jantung bisa
mengubah perasaanmu sedemikian cepat?" Wajah Diandra tampak kesakitan,
"Perasaan yang sudah kita bangun sekian lama, yang kita pupuk dari
kecil sampai sekarang.... tahukah kau..." Suara Diandra tertelan oleh
isak tangisnya, "Sejak dulu aku hidup dengan kesadaran bahwa aku akan
menjadi isterimu..... dan kau... kau menghancurkannya begitu saja."
Reno tertegun menatap Diandra yang
menangis terisak-isak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Semua orang
tidak ada yang bisa menerima penjelasannya. Mungkin tidak masuk akal
jika ditelaah secara logika... tetapi Reno yang paling tahu, Reno yang
merasakannya. Dan perasaan itu nyata.... saat ini dia tidak bisa
mengucapkan maaf kepada Diandra, karena perempuan itu tidak akan
menerimanya.
"Lalu kau ingin aku berbuat apa, Diandra?" gumam Reno putus asa, lelah atas penghakiman yang terus menerus ditimpakan kepadanya..
Diandra menatap Reno lurus-lurus. "Aku tidak pernah berlku egois sebelumnya, Reno. Kau tahu selama ini aku selalu mencoba mengutamakan kebahagiaanmu lebih dulu, bahkan pada saat aku memutuskan pertunangan itu dengan kejam, aku melepaskanmu." Air mata Diandra mengalir makin deras, tetapi perempuan itu tetap menatap Reno dengan tajam, "Aku ingin bersikap egois sekarang. Sekali saja dalam hidupku aku ingin memenangkan kebahagiaanku sendiri."
Diandra menghela napas, dan Reno menunggu,
"Jangan kembali kepada perempuan itu. Aku mohon." Diandra tampak begitu sedih, "Aku buang harga diriku untuk memohon padamu. Tinggalah di sini, kita lanjutkan hidup kita yang sudah tertata hingga masa depan. Aku...aku akan membuatmu mencintaiku kembali, aku tahu rasa cinta itu masih ada...." Suara Diandra terendam oleh isak tangisnya. "Aku sudah mencoba Reno, tetapi aku tidak bisa tanpaku... kalau kau meninggalkanku lagi.... kali ini aku... aku akan mati."
Reno membeku mendengar perkataan Diandra itu.
***
Reno tidak datang lagi. Nana duduk dengan gelisah di kursi itu, kursi biasanya dia duduk berdua dengan Reno. Sudah hampir seminggu Nana duduk di kedai kopi itu setiap sore, tetapi Reno tidak ada. Dia mencoba menghubungi nomor ponsel Reno, tetapi selalu tidak aktif.
Hati Nana gelisah. Apakah ini ada hubungannya dengan telepon yang mengaku sebagai mama Reno waktu itu? Apakah... jika informasi waktu itu benar... Reno pulang menemui tunangannya dan tak kembali?
Tiba-tiba jantung Nana terasa berdenyut. Ketika Reno tidak ada, dia baru menyadari bahwa dia merindukan kehadiran laki-laki itu di hari-harinya, merindukan tawanya, merindukan kedekatan mereka bersama, saling berbagi cerita,
Tanpa sadar, Nana mungkin sudah jatuh cinta kepada Reno....
***
Bersambung ke Part 6
Sumber
Novel Karangan Shanty Agatha " Menghitung Hujan" Part 4
Jika cinta itu sama dengan hujan
"Aku tidak bisa datang, maafkan aku Diandra." Reno mengeraskan hatinya. Diandra harus belajar kuat tanpanya. Kalau setiap Diandra lemah dan Reno datang, Diandra akan terus bergantung kepadanya, hatinya akan semakin sakit dan semakin menderita.
Sumber
Maka kaulah tetes air yang mengalir itu
Menerpa tubuhku, Membasahi hatiku
Membuatku mampu bermimpi,
Bahwa mungkin akan ada 'bahagia selamanya" untuk kau dan aku...
"Aku tidak bisa datang, maafkan aku Diandra." Reno mengeraskan hatinya. Diandra harus belajar kuat tanpanya. Kalau setiap Diandra lemah dan Reno datang, Diandra akan terus bergantung kepadanya, hatinya akan semakin sakit dan semakin menderita.
Reno menyayangi Diandra. Hanya itu.
Pertunangan mereka bertahun lamanya, persahabatan mereka dari kecil
hanya menyisakan satu hal di dada Reno : rasa sayang. Debar itu sudah
tidak ada lagi untuk Diandra. Jantung itu sudah tidak lagi mengharapkan
Diandra di sampingnya.
Suara isak Diandra mengalun perlahan, isak perempuan yang patah hati.
"Setega itukah kau padaku, Reno? Aku bagaikan sampah bagimu..."
"Aku hanya ingin kau kuat, Diandra."
"Kuat?" Diandra tertawa di sela isak
tangisnya, "Dulu aku kuat, karena aku harus menopangmu. Kau sakit, dan
aku berjuang supaya kuat, karena salah satu dari kita harus kuat untuk
mendukung yang lain." Suara Diandra terdengar penuh kesakitan, "Lalu kau
menghancurkanku."
Reno memejamkan mata, merasakan kesakitan memenuhi badannya. Diandra memang benar... tetapi dia bisa apa?
"Maafkan aku Diandra/"
"Tidak." Diandra bersikeras, "Aku tidak
akan memaafkanmu Reno. Bertahun kuhabiskan hanya untuk mendampingimu.
Karena aku mencintaimu. Tetapi kau membuangku begitu saja. Hanya karena
jantung itu."
"Kau boleh membenciku semaumu. Aku pantas
menerimanya. Kalau dengan membenciku kau bisa sembuh dan melangkah ke
dalam kebahagiaan baru, aku rela kau benci." gumam Reno pelan.
Hening. Diandra termenung di seberang sana. Lalu ada helaan napas di sela isak tangisnya.
"Seharusnya waktu itu kau bunuh saja aku."
Teleponpun ditutup. Meninggalkan Reno yang termenung di tengah kegelapan kamarnya.
***
Malam itu Nana bermimpi, mimpi tentang
Rangga, tentang kenangan-kenangan mereka bersama di masa lampau.
Saat-saat bahagia itu....
Mereka sedang duduk di pantai yang mereka
kunjungi waktu liburan masa lalu, di pasir tanpa alas. Menghadap ombak
di bawah langit jingga yang siap menghantarkan matahari masuk ke
peraduannya.
"Tidak ada yang namanya bahagia
selamanya." Rangga bergumam sambil tersenyum lembut, melirik novel cinta
yang sedang dibaca oleh Nana.
Nana mendongak dari novel itu. Cahaya
makin temaram, membuat huruf demi huruf makin berbayang, dia menyerah
dan menutup novelnya.
"Kenapa?"
"Karena hidup terus berputar, manusia yang
bercinta harus menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi
terkadang menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta."
Rangga menatap Nana dengan mata teduhnya, "Dan karena ada kematian.
Suatu saat manusia harus siap menghadapi kematian, dipisahkan satu sama
lainnya."
Nana merenungkan kata-kata Rangga. "Kau tahu kenapa aku menyukai novel-novel percintaan?"
"Karena mereka semua selalu berakhir hidup bahagia selamanya?"
"Bukan." Nana menggeleng. "Karena novel
percintaan itu selalu berakhir di saat mereka paling bahagia. Seakan
hidup mereka berhenti di sana, setelah tulisan 'the end', di titik para
tokohnya paling bahagia."
Rangga tertawa, "Kau ingin seperti novel-novel itu? berakhir di titik paling bahagia?"
"Saat ini aku bahagia." Nana menatap
Rangga dan tersenyum penuh cinta, "Tapi aku belum ingin ini berakhir...
masih ada saat-saat panjang di depan kita, dan aku ingin menikmatinya."
"Meskipun nanti kadangkala ada tangis berganti tawa dan sebaliknya?" Rangga bertanya.
"Itu cukup berharga untuk dilalui kalau dilewatkan bersamamu."
Rangga tersenyum mendengar jawaban Nana.
Matahari makin lelap di peraduannya, beristirahat barang sejenak di
ujung sana, menyembunyikan sinarnya. Gelap sudah membayang, membuat
tampilan Rangga bagaikan siluet gelap yang merenung menatap bayang
cakrawala yang mulai menghilang.
"Kalau begitu musuh kita hanyalah
kematian." gumamnya kemudian, "Seandainya bisa aku ingin mati sebelum
dirimu, supaya aku tidak perlu mengalami kesakitan karena kehilanganmu."
...............
Nana terbangun. Membuka matanya yang
seperti biasanya, penuh air mata. Kata-kata Rangga itu membuatnya ingin
menangis. Rangga egois... dia memang meninggalkan Nana lebih dahulu dan
membiarkan Nana mengalami kesakitan karena kehilangannya.
***
"Diandra sakit." sang mama menelpon keesokan paginya, nada suaranya sedih, membuat Reno mengernyit sesak,
"Sakit apa ma?"
Mamanya menghela napas, "Sejak kau
tinggalkan dia menderita, dia tak mau makan.... dia hanya memangis,
kondisi tubuhnya menurun. Semalam dia dibawa ke rumah sakit."
"Apakah kondisinya parah?"
"Sangat." suara mamanya bergetar, "Mama
menengoknya, Reno. Dia begitu kurus, dia begitu sedih. Mamanya Diandra
bahkan memohon kepada mama, sambil menangis agar mama bisa membujukmu
datang. Kau tahu betapa sedihnya mama? Mamanya Diandra itu sahabat
mama... dan Diandra... dia sudah seperti anak mama sendiri."
Reno merenung, rasa bersalah dan bingung berkecamuk di benaknya. Teringat semalam dia menolak Diandra yang meminta perhatiannya.
"Lalu aku harus bagaimana ma?"
"Pulanglah Reno. Mama mohon. Demi masa-masa yang telah Diandra relakan demi mendampingimu di kala kau sakit."
Kata-kata sang Mama menohok benaknya. Membuat Reno semakin merasa tak berdaya.
"Aku tidak bisa, ma." Reno mengerang.
"Kenapa?"
"Mama tahu jawabannya."
"Karena perempuan bernama Nana itu? yang
dipanggil oleh jantungmu?" Suara mamanya menajam. "Apakah jantungmu itu
membuatmu menjadi begitu egoisnya sehingga tidak mempunya empati sama
sekali?"
"Mama! bukan begitu. Aku hanya tidak ingin
membuat Diandra semakin lemah dan terus berharap kepadaku.... kalau aku
datang, sama saja aku memberikan harapan baru kepadanya."
"Yang diinginkan Diandra hanya kehadiranmu
di saat dia sakit." Suara mamanya mencela. "Dan kau bisa melakukannya.
Mama harap kau berpikir dan mengingat masa-masa dulu, dimana Diandra
selalu setia mendampingimu."
Reno menghela napas panjang. Merasa sesak oleh rasa bersalah yang mendalam/
***
Seperti biasa, Reno menunggunya di kedai kopi itu. Senyumnya mengembang begitu melihat Nana,
"Kau basah." Reno menatap rambut Nana yang memercik butiran air berkilauan, "Kenapa tadi tidak mau kujemput?"
"Karena kau harus memutar jauh kalau
menjemputku." Nana tersenyum dan duduk di depan Reno, "Lagipula aku
hanya perlu naik kendaraan umum satu kali untuk tiba di sini."
"Hmm" Reno mengedipkan mata kepada Nana, "Jadi apa kabarmu hari ini?"
Nana mengangsurkan sebuah novel dari
tasnya, "Buku pesananku baru sampai semalam." Nana menunjukkan buku
dengan latar sampul berwarna putih itu kepada Reno, "Aku membacanya
sampai pagi, dan aku senang."
Reno melirik novel yang ditunjukkan Nana dan tersenyum, "Novel percintaan lagi?"
"Yep. Kisah perempuan tak berdaya yang
melawan lelaki berkuasa, dan kemudian dipersatukan oleh cinta." Mata
Nana berbinar, membuat Reno tergelak geli.
"Dasar kalian perempuan." gumam Reno masih tergelak, "Tidak adakah yang dipikirkan perempuan selain romantisme cinta?"
"Tentu saja ada." Nana mengedipkan
matanya, "Kami juga memikirkan kehidupan nyata kok, tetapi kadang kami,
para perempuan merasa sangat bahagia bisa menenggelamkan diri dalam
kisah percintaan yang menyentuh hati."
"Karena happy ending?"
"Salah satunya karena itu." Nana
tersenyum, "Membaca kisah yang berakhir bahagia bagi tokoh2 di dalamnya,
membuat kami percaya bahwa ada ujung yang bahagia untuk kami para
perempuan suatu saat nanti."
Pelayan datang membawa menu pesanan mereka
yang biasa. Kopi yang panas dengan aroma yang harum, sangat cocok
dengan aroma hujan di kala deras, membuat hati hangat di suasana yang
dingin.
Reno menyesap kopinya, lalu menatap Nana serius, "Jadi kau percaya dengan akhir bahagia selamanya?"
"Itu hanya ada di dongeng-dongeng." Nana
menjawab, "Tetapi aku percaya bahwa setiap perempuan pasti akan
menemukan kebahagiaannya masing-masing."
"Tetapi tidak ada yang bisa bahagia
selamanya, Karena hidup terus berputar, manusia yang bercinta harus
menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi terkadang
menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta." Reno menatap
Nana sendu, "Dan karena ada kematian. Suatu saat manusia harus siap
menghadapi kematian, dipisahkan satu sama lainnya."
Kata-kata itu membuat Nana tertegun dan membeku. Hening.
Reno mengernyitkan keningnya, "Kenapa Nana?'
Kata-kata itu, sama persis dengan kata-kata Rangga.
Nana membatin, lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Tidak.
tidak ada apa-apa." Nana tersenyum sedih, "Hanya saja aku pernah
mendengar kata-kata yang tepat seperti itu sebelumnya."
Reno tersenyum pahit, "Rangga?"
Nana menganggukkan kepalanya.
Reno langsung mengalihkan pandangannya,
menjaga supaya kepahitannya tidak terbaca oleh Nana. Perasaannya
berkecamuk. Jikalau nanti Nana mencintainya, apakah perempuan itu akan
mencintai dirinya seutuhnya, ataukah dia akan mencintai jantung yang saat ini berdetak di rongga dadanya?
***
"Nana." sang mama memanggil dari luar kamar, membuat Nana yang sedang tenggelam di dalam novelnya menolehkan kepalanya.
"Ya ma?" ditatapnya sang mama yang berdiri di ambang pintu.
"Ada telepon untukmu, di ruang makan."
Nana mengernyit. Siapa yang meneleponnya
ke telepon rumah? Teman-temannya biasanya akan menelepon langsung ke
ponselnya. Dengan ingin tahu dia beranjak dari ranjang, dan melangkah ke
ruang makan.
Diangkatnya gagang telepon yang terbuka di meja itu, "Hallo?"
Suara perempuan setengah baya yang lembut terdengar di sana.
"Nana?" Perempuan itu bertanya, lalu
bergumam hati-hati, "Nana, maafkan saya. Saya mamanya Reno, bisakah kita
bertemu? Saya mohon bantuan Nana untuk meluluhkan hati Reno."
"Meluluhkan hati Reno?" Nana mengernyit bingung. Telepon dari mama Reno ini sungguh tidak disangkanya.
"Iya Nana, bolehkah kita atur waktu untuk bertemu, tapi saya mohon jangan sampai Reno tahu, saya akan menjelaskan semuanya.
Nana berdehem, bingung, "Kalau boleh saya tahu... ini tentang apa ya?"
Suara di sana agak ragu, tetapi lalu
berkata. "Tunangan Reno sedang sakit keras. Dan Reno tidak mau pulang
untuk menjenguknya. Saya pikir..... ini semua disebabkan oleh kau,
Nana."
Dunia Nana langsung bergetar keras di bawah kakinya. Membuat napasnya terasa sesak dan menyakitkan.
***
Bersambung ke Part 5
Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)